“Kami tidak memberlakukan sensor, tapi kami berprinsip, buku tidak boleh jalan sendirian,” demikian disampaikan Ibu Lestiya Primayanti (Tia), dari Sekolah Kembang, Mampang, Jakarta Selatan.
Duduk dua jam di Rabu siang, 31 Oktober 2018 pada acara pelatihan “Pemanfaatan Buku Pengayaan untuk Pembelajaran” memberikan gambaran hal-hal menarik yang terjadi di Sekolah Kembang. Narasumber lainnya adalah Ibu Sekarayu Adhaningrum (Sekolah Kembang) dan Ibu Tati Wardi (UIN Syarif Hidayatullah) dengan moderator Ibu Roosie Setyawan.
Ibu Tia mengawali dengan ungkapan bahwa jantung pendidikan adalah pola hubungan guru dan murid. Komunikasi adalah kuncinya. Sekolah Kembang menerapkan pembelajaran berbasis literasi. Buku bergambar hingga novel dimanfaatkan sebagai sumber belajar. Terbayang asyiknya belajar tentang kehidupan lain di luar Jakarta melalui buku “Keluarga Cemara 2”. Lewat tokoh-tokoh di buku itu, anak-anak belajar tentang kesederhanaan. Mereka juga belajar tentang profesi penarik becak, tukang kredit keliling atau penjual opak. Buku bergambar “Aku Suka Caramu” yang diterbitkan oleh Litara mengajak anak berempati kepada teman tunanetra dan menemukan cara bagaimana membantu teman tersebut.
Buku lain yang menjadi rujukan antara lain: Wonder, Tru dan Nelle, Laskar Pelangi, Na Willa, Mathilda.
Apa yang kemudian terbayang ketika anak SD diajak diskusi tentang imbas masa depresi besar terhadap ekonomi Amerika? Yes… Lewat buku Tru dan Nelle mereka diajak menyelami cara berpikir tingkat tinggi (high order thinking skill). Empati, sikap toleran, berpikir reflektif dan pengembangan semua didiskusikan berdasar kasus-kasus yang ada dalam buku.
Bagaimana mereka bisa melakukannya? Diawali dengan upaya guru mencari buku yang sesuai dengan tema yang ingin dibahas. Isi buku dikuasai betul oleh guru, kemudian buku dibaca oleh semua siswa. Karenanya, persiapan berikutnya adalah memastikan jumlah koleksi buku mencukupi sejumlah anak. Proses diskusi ini terjadi sebelum membaca, selama membaca dan sesudah membaca. Seru pastinya kegiatan diskusi tersebut. Buku benar-benar hidup dalam pembelajaran di Sekolah Kembang. Hal menarik lainnya adalah kenyataan bahwa lulusan Sekolah Kembang tetap memiliki nilai akademis tinggi. Mengejar persiapan ujian akhir sekolah dilakukan enam sampai delapan bulan sebelum ujian. Apakah bisa? Terkadang sekolah lain yang sudah menyiapkan diri untuk ujian sejak dua tahun sebelumnya, hasilnya tetap kurang memuaskan. Ibu Tia menyampaikan bahwa ketika anak sudah terbiasa diajak untuk berpikir tingkat tinggi, maka mengerjakan soal dengan tingkat kesulitan di bawahnya akan lebih mudah. Wow bukan?
Kembali pada prinsip bahwa buku tidak boleh berjalan sendiri. Maka, meskipun dalam buku terkadang dijumpai lontaran kata-kata kasar, tokoh yang menunjukkan sikap kurang baik, segala macam buku tetap bisa dibacakan di Sekolah Kembang. Apakah tidak khawatir jika perilaku negatif tersebut ditiru oleh anak? Di situlah ruang untuk diskusi, ruang untuk mendengarkan pendapat anak dan ruang bagi guru untuk menyampaikan nilai-nilai kebaikan. Siapkah kita sebagai orang tua, atau pegiat literasi untuk menjadi teman diskusi anak ketika membaca buku? Cukup sabarkah kita berdiskusi atau memberikan pertanyaan reflektif kepada anak? Jika pun belum bisa sebagai pendamping anak-anak pengunjung taman baca kita, semoga kita bisa mengawalinya dari keluarga kita.
Curhatan: Mata Aksara sudah memiliki buku “Wonder” karya RJ Palacio versi bahasa Inggris dan bahasa Spanyol. Buku “Wonder” berbahasa Indonesia yang dicetak oleh Penerbit Atria tahun 2012 malah belum kami miliki. Adakah yang punya? Jika ada, ijinkan kami meminjam atau membelinya.
#FestivalLiterasiSekolah2018
#MataAksaraBelajar
#JanganBiarkanBukuBerjalanSendiri